Senin, 04 Januari 2010

Sekelumit Kesesatan Ibnu Taimiyah & Muhammad bin Abdul Wahhab

MUKADIMAH
Syari'at telah menyeru untuk mengajak kepada al-ma’ruf; yaitu hal-hal yang diperintahkan Allah, dan mencegah dari hal-hal yang munkar; yang diharamkan oleh Allah, menjelaskan kebathilan sesuatu yang bathil dan kebenaran perkara yang haq. Pada masa kini banyak orang mengeluarkan fatwa tentang agama. Fatwa-fatwa tersebut jika diamati dengan jeli tidak sedikit yang tidak memiliki dasar yang jelas dalam agama. Pada akhirnya penyimpangan dan penyelewenganpun semakin menjadi-jadi. Karena itu tulisan ini dibuat demi menjelaskan yang haq dari yang bathil, agar umat Islam dapat dengan jelas melihatnya tanpa ada kesamaran sedikitpun.
 
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah mengingatkan masyarakat dari seorang penipu ketika manjual bahan makanan. Rasulullah tidak membiarkan perkara sepele ini, meski ia tidak mengandung unsur kufur atau syirik. Jika demikian halnya bagaimana mungkin beliau akan diam dan membiarkan orang-orang yang menyelewengkan ajaran-ajaran agama dan menyebarkan penyelewengan-penyelewengan tersebut di tengah-tengah masyarakat. Tentunya orang semacam ini lebih layak untuk diwaspadai dan dijelaskan kepada masyarakat akan bahaya dan kesesatannya.

Tampaknya perilaku Rasulullah ini diteladani oleh para ulama. Imam Syafi’i misalnya, di hadapan khalayak ramai beliau mengatakan kepada Hafsh al-Fard:  “Kamu betul-betul telah kufur kepada Allah yang Maha Agung (yakni telah jatuh dalam kufur hakiki yang mengeluarkan seseorang dari Islam sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Bulqini dalam kitab Zawa'id ar-Raudlah). (Lihat Manaqib asy-Syafi’i, jilid I, h. 407). Beliau juga menyatakan tentang Haram ibn Utsman; seorang yang hidup semasa dengannya dan biasa berdusta ketika meriwayatkan hadits: “Meriwayatkan hadits dari Haram ibn Utsman hukumnya adalah haram”. Demikian pula Imam Malik juga mencela (jarh) orang yang semasa dan tinggal di daerah yang sama dengannya, yakni Muhammad ibn Ishaq penulis kitab al-Maghazi, beliau mengatakan: “Dia seringkali berbohong”. Imam Ahmad ibn Hanbal juga berkata tentang al-Waqidi:  “al-Waqidi seringkali berbohong”.

Ketika kami menyebut beberapa nama orang yang menyimpang, maka hal ini tidaklah termasuk ghibah yang diharamkan, bahkan sebaliknya ini adalah hal yang wajib dilakukan untuk memperingatkan masyarakat akan bahaya yang siap menerjang mereka. Oleh karena itu,  demi meneladani sikap Rasulullah dan para ulama dalam menjaga kemurnian agama dan memperingatkan umat dari para ulama “gadungan”, maka kiranya tulisan kami berikut ini membawa manfaat.

IBNU TAIMIYAH
Ahmad ibn Taimiyah (W. 728 H) lahir di kota Harran, Syiriya, di tengah keluarga berilmu yang menganut madzhab hanbali. Ayahnya bernama Syekh Abdul Halim. Sewaktu kecil Ibnu Taimiyah bersama saudara-saudaranya dibawa oleh ayahnya meninggalkan Harran ke Negeri Syam guna menghindari serangan tentara Mongol.
Ibnu Taimiyah, meskipun namanya cukup populer di negerinya, dan memiliki banyak karangan serta pengikut, namun sesungguhnya ia adalah seperti yang dikatakan oleh al Hafizh al Faqih Waliyuddin al Iraqi ibn Syekh al Huffazh Zainuddin al Iraqi dalam kitabnya “Al Ajwibah al Murdhiyyah ‘ala al As’ilah al Makkiyah” (w. 862 H): “Ilmunya melebihi akalnya”, dan juga perkataannya: “Ibnu Taimiyah telah menyalahi ijma’ dalam banyak permasalahan, disebutkan kurang lebih 60 permasalahan; sebagian dalam masalah ushuluddin dan sebagian lagi dalam masalah furu’uddin. Ibnu Taimiyah menyalahi para ulama dalam permasalahan-permasalahan tersebut setelah adanya ijma’ (konsensus) para ulama”.

Di antara penyimpangan Ibnu Taimiyah adalah:
1.    Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa jenis daripada alam (makhluk) tidak memiliki permulaan, ia ada bersama Allah pada azal (keberadaan tanpa permulaan). Keyakinannya ini disebutkan dalam kitabnya “Al Muwafaqah, al Minhaj” dan lain-lain.

Bantahan:
Keyakinan tersebut menyalahi al Qu’an, Sunnah dan Ijma’ juga menyalahi akal sehat. Allah ta’ala berfirman yang maknanya: “Dia (Allah) Dzat yang tidak memiliki permulaan, dan Dia (Allah) Dzat yang tidak memiliki batas akhir” (Q.S. al Hadid, 3)
Rasulullah bersabda:
كان الله ولم يكن شىء غيره (رواه البخاري)
“Allah ada (pada azal, tanpa permulaan) dan tidak ada sesuatupun (pada azal) selain-Nya (Allah)”. (H.R. al Bukhari)

2.    Ibnu Taimiyah menisbatkan tempat dan bentuk pada Dzat Allah. Ia berkata: “Umat Islam dan orang-orang kafir sepakat bahwa Allah berada di atas langit” ia juga berkata: “Allah memiliki berntuk dan tidak ada yang tahu bentukNya selain Allah sendiri”. Keyakinannya ini juga disebutkan dalam kitabnya “Al Muwafaqah” dll.

Bantahan:
Keyakinan ini bertentangan dengan firman Allah yang maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai segala sesuatu dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”.  (Q.S. asy-Syura: 11).
Ayat tersebut adalah ayat tanzih yang mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya secara total, termasuk di antaranya adalah bertempat dan memiliki bentuk. Jadi Allah tidak bertempat dan tidak memiliki bentuk. Jika dikatakan bahwa Allah bertempat maka Ia memiliki banyak sekali serupa dengan makhluk-Nya, sedangkan yang demikian adalah mustahil bagi Allah.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان
"Allah ada (pada azal) dan tidak ada tempat, dan Ia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) ada sebagaimana semula, tanpa tempat”.

3.    Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa Allah duduk di atas ‘arasy. Dalam kitabnya “Syarh Hadits an-Nuzul” ia berkata: “Ia (Allah) selalu berada di atas ‘arasy meskipun Ia turun ke langit bumi pada setiap sepertiga akhir malam”. Keyakinan ini juga disebutkan dalam kitab-kitabnya yang lain seperti “Majmu’ al Fatawa, al Minhaj, dll”.

Bantahan:
Keyakinan ini juga bertentangan dengan surat as-Syura ayat 11 di atas. Duduk (jalasa) adalah sifat yang tertentu bagi makhluk Allah yang memiliki dua bagian yaitu bagian atas dan bawah, seperti manusia dll. Jika Allah disifati dengan duduk maka Allah sama dengan manusia. Imam Syafi’i berkata:
من قال أو اعتقد أن الله جالس على العرش فهو كافر
“Barangsiapa berkata atau meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arasy maka dia telah kafir”. (Riwayat Ibnu al Mu’allim al Qurasyi).
Dan masih banyak kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah yang lain, baik dalam perkara-perkara ushul maupun furu’. Jika Anda hendak mengetahui lebih banyak tentang kesesatan-kesesatan Ibnu Taimiyah, silahkan baca kitab المقالات السنية في كشف ضلالات أحمد ابن تيمية karya Syekh Abdullah al Harari.

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Golongan Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi (W. 1206 H). Muhammad ibn Abdul Wahhab (Perintis gerakan Wahhabiyyah) adalah seorang yang tidak diakui keilmuannya oleh para ulama.  Bahkan saudaranya; Sulaiman ibn Abdul Wahhab menulis dua buah karya bantahan terhadapnya. Ini ia dilakukan karena Muhammad ibn Abdul Wahhab menyalahi apa yang telah disepakati oleh kaum muslimin baik di daerahnya maupun di tempat lain, baik dari kalangan pengikut madzhab Hanbali maupun pengikut mazhab lain. Bantahan pertama berjudul   (الصـواعـق الإلـهـية) dan yang kedua berjudul    (فصـل الخـطاب في الرد على محمد بن عبد الوهاب  ).  
 
Seorang ulama madzhab Hanbali ternama, seorang mufti Makkah pada masanya, Syekh Muhammad ibn Humaid, tidak memasukkan nama Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam jajaran ulama madzhab Hanbali, padahal dalam kitabnya berjudul   (السحـب الوابـلة على ضـرائح الحـنابلة) ia menyebutkan sekitar 800 ulama laki-laki dan perempuan dari kalangan madzhab Hanbali. Justru yang disebutkan dalam kitab tersebut adalah biografi ayahnya; Syekh Abdul Wahhab. Syekh Muhammad ibn Humaid memuji keilmuan ayahnya dan menyebutkan bahwa ayahnya ini semasa hidupnya sangat marah terhadap Muhammad (anaknya) tersebut dan memperingatkan orang-orang untuk menjauh darinya. Sang Ayah berkata:  
 يا ما تـرون من محمد من الشـر  
(Kalian akan melihat kejahatan yang akan dilakukan oleh Muhammad). Syekh Muhammad ibn Humaid wafat sekitar 80 tahun setelah Muhammad ibn Abdul Wahhab.
 
Muhammad ibn Abdul Wahhab telah membuat agama baru yang diajarkan kepada pengikutnya. Dasar ajarannya ini adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas ‘Arsy. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Padahal para ulama salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah terjerumus dalam kekufuran.  Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as-Salafi ath-Thahawi (227 - 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan nama (العقيدة الطحاوية), teks pernyataannya adalah:
وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَرَ
"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
 
Di antara keyakinan golongan Wahhabiyyah adalah mengkafirkan orang yang memanggil seraya berkata: Ya Muhammad (Wahai Nabi muhammad-dengan niat meminta tolong), mengkafirkan orang yang berziarah ke makam para nabi dan para wali untuk mencari berkah (tabarruk), mengkafirkan orang yang mengusap makam para nabi untuk bertabarruk, dan mengkafirkan orang yang mengalungkan hirz (tulisan ayat-ayat al Qur’an atau lafazh-lafazh dzikir yang dibungkus dengan rapat lalu dikalungkan di leher) yang di dalamnya hanya tertulis al Qur’an dan semacamnya. Mereka menyamakan perbuatan memakai hirz  ini dengan penyembahan terhadap  berhala.
 
Semua keyakinan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para penganutnya tersebut telah menyalahi keyakinan para sahabat dan orang-orang salaf yang shalih. Telah menjadi kesepakatan bahwa seseorang diperbolehkan berkata “Ya Muhammad…” ketika ia ditimpa kesusahan. Semua umat Islam bersepakat tentang kebolehan ini dan melakukannya dalam praktek keseharian mereka, mulai dari para sahabat nabi,  para tabi’in dan semua generasi Islam hingga kini.  Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal; Imam Madzhab Hanbali yang mereka klaim di negeri mereka sebagai madzhab resmi, telah menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan tangan di atas makam Nabi Muhammad, menyentuh mimbarnya dan mencium makam dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan bertabarruk. Hal ini ia sebutkan dalam kitabnya yang sangat terkenal berjudul (الجـامع في العـلل ومعـرفة الرجـال).     
 
Golongan wahhabi telah menyimpang dari jalur umat Islam tatkala mereka mencap kafir orang yang beristighatsah kepada Rasulullah dan bertawassul dengan beliau. Mereka berkata: “Bertawassul dengan selain yang hidup (orang mati) dan yang hadir (tidak ada di hadapan kita) adalah kufur”. Mereka amat keras dalam memegang prinsip ini, sehingga mereka tak segan-segan mengakfirkan dan membunuh orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah ini. Pemimpin mereka Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata: “Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita maka ia mendapatkan hak sebagaimana hak-hak kita dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban kita, dan barang siapa yang tidak masuk (dalam dakwah kita) maka ia kafir dan halal darahnya”.
 
Bagi yang hendak mengetahui secara luas tentang dalil-dalil yang membantah pernyataan-pernyataan mereka, silahkan membaca kitab-kitab yang banyak ditulis dalam membantah mereka seperti kitab yang berjudul (الـرد المحـكم الـمتـين) karya seorang muhaddits daratan Maroko yaitu Syekh Abdullah al Ghammari dan kitab yang berjudul (المقالات السنية في كشف ضلالات أحمد بن تيمية) karya muhaddits daratan Syam; Syekh Abdullah al Harari.

PENUTUP
Sebagaimana judulnya, tulisan ini belum memberi gambaran utuh tentang bid’ah dan kesesatan yang dibuat oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Masih banyak bid’ah-bid’ah yang mereka buat yang menyalahi nash-nash al-Qur’an dan hadis serta menyalahi ijma’ kaum muslimin. Tetapi penulis berharap dengan sekelumit nukilan tersebut kiranya umat Islam bangun dan melek, waspada serta lebih subjektif dalam memandang bahwa ketenaran tidak cukup untuk menilai seseorang berada pada kebenaran, akan tetapi syari’atlah yang menjadi tolok ukurnya. Alangkah bijak seseorang yang mengatakan: la yu’rafu al-haqq bi al-rijal wa lakin al-rijal yu’rafuna bi al-haqq (kebenaran itu tidak dinilai dari ketokohan seseorang, namun kebenaran itu yang akan menilai seseorang apakah ia benar atau salah).

0 komentar:

Posting Komentar