Gerakan Wahabisasi dan Perkembangannya di Indonesia
Oleh: Choirul Ansori, M.Ag
Oleh: Choirul Ansori, M.Ag
Pendahuluan
Golongan Wahabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab. Sebuah gerakan separatis yang muncul pada masa pemerintahan Sultan Salim III (1204-1222H). Gerakan ini berkedok memurnikan tauhid dan menjauhkan umat manusia dari kemusyrikan. Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya menganggap bahwa selama 600 tahun umat manusia dalam kemusyrikan
dan dia datang sebagai mujaddid yang memperbaharui agama mereka. Gerakan wahabi muncul melawan kemapanan umat Islam dalam masalah aqidah dan syariah, karenanya gerakan ini tersebar dengan peperangan dan pertumpahan darah. Dengan dukungan dari Hijaz bagian timur yaitu raja Muhammad ibn Saud raja ad Dir’iyah, pada tahun 1217 H Muhammad ibn Abdul Wahhab bersama pengikutnya mengusai kota Thaif setelah sebelumnya mereka membunuh penduduknya, tidak ada yang selamat kecuali beberapa orang. Mereka membunuh laki-laki dan perempuan, tua, muda, anak-anak, bahkan bayi yang masih menyusu pada ibunya juga mereka bunuh. Mereka keluarkan semua penghuni rumah-rumah yang ada di Thaif, bahkan yang sedang shalat di masjid juga mereka bantai. Mereka rampas semua harta dan kekayaan penduduk Thaif dan mereka musnahkan semua kitab yang ada hingga berserakan di jalanan.
Dari Thaif kemudian mereka memperluas kekuasaannya ke beberapa kota seperti Mekkah, Madinah, Jeddah dan kota-kota lainnya. Hingga akhirnya pada tahun 1226 H Sultan Mahmud Khan II turun tangan dengan memerintahkan Raja Mesir Muhammad Ali Basya untuk membendung gerakan Wahabi ini. Dengan kekuatan pasukannya dan kegigihan Raja Muhammad Ali Basya sampai akhirnya mereka dapat mengambil alih kota Thaif, Mekkah, Madinah dan Jeddah dari kekuasaan golongan Wahabi.
Siapakah Muhammad ibn Abdul Wahhab
Muhammad ibn Abdul Wahhab ibn Sulaiman ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rasyid at Tamimi lahir pada tahun 1115 H di pedesaan al Uyainah yang terletak disebelah utara kota Riyadl. Meninggal dunia pada tahun1206 H. Pertama kali dia menyebarkan ajarannya di aderahnya Huraimalan, banyak mendapatkan tantangan dari masyarakat sekitar. Bahkan ayahnya Syekh Abdul Wahhab juga menentangnya. Sejak Muhammad kecil ayahnya sudah mempunyai firasat burukdan sering mengingatkan masyarakat dari kejahatan Muhammad. Ketidak cocokan Muhammad dengan ayahnya berlanjut hingga ia dewasa dan mulai menyebarkan ajarannya. Muhammad menganggap ayahnya cenderung mengikuti ajaran sufiyah dan berlebihan dalam mencintai orang-orang shalih. Tidak hanya dengan ayahnya, saudara kandungnya Syekh Sulaiman ibn Abdul Wahhab juga menentangnya. Bahkan beliau menulis 2 karangan sebagai bantahan terhadap Muhammad. Bantahan pertama beliau beri judul al Shawa’iq al Ilahiyah fi al Radd ‘ala al Wahhabiyah dan yang kedua berjudul Fashl al al Khitab fi al Radd ‘ala Muhammad ibn Abd al Wahhab. Karena banyaknya yang menentang ajarannya maka Muhammad lebih memilih berdakwah dengan sembunyi-sembunyi. Baru setelah wafatnya ayahnya dia berani lantang dalam menyebarkan ajarannya. Ia mulai dengan mengkafirkan umat Islam yang ziarah kubur, mereka yang bertawassul dan membalikkan ayat yang sebetulnya turun sebagai peringatan untuk kaum kafir ia pergunakan ayat ini untuk mengkafirkan umat Islam. Di antara ulama yang menetang ajaran Muhammad adalah gurunya sendiri yaitu Syekh Muhammad ibn Sulaiman al Kurdi pengarang Hasyiyah Syarh Ibn Hajar ‘ala Matn Bafadlal, di antara perkataan beliau: “ Wahai putra Abdul Wahhab saya menasehatimu karena Allah ta’ala agar kamu menjaga lisan kamu dari menyesatkan umat Islam. Kalau kamu mendengar dari seseorang yang meyakini bahwa istighatsah dapat memberikan manfaat dari selain Allah maka ajarankan kepada orang tersebut ajaran yang benar dan jelaskan bahwa tidak ada yang dapat memberikan manfaat kecuali Allah. Kalau ia menolak kebenaran maka kafirkan orang tersebut. Tidak ada alasan bagimu untuk mengkafirkan mayoritas umat. Dan kamu telah menyimpang dari mayoritas umat, maka kekufuran lebih dekat terhadap orang yang menyimpang dari mayoritas umat karena ia telah mengambil jalan selain jalan umat Islam. Dan sesungguhnya serigala itu akan memangsa kambing yang terpencar dari gerombolannya”.
Di Antara Ajaran Golongan Wahabi
Muhammad ibn Abdul Wahhab telah membuat agama baru yang diajarkan kepada para pengikutnya. Dasar ajarannya adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya dan meyakini bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy. Keyakinan ini merupakan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia.
Para ulama salaf bersepakat bahwa barang siapa yang mensifati Allah dengan salah satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir. Sebagaimana hal ini ditulis oleh Imam al Muhaddits as Salafi ath Thahawi (227-321 H) dalam kitab aqidahnya yang terlenaldengan nama al ‘Aqidah ath Thahawiyah, beliau berkata: “Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
Di antara keyakinan golongan Wahhabiyah ini adalah mengkafirkan orang yang berkata: “Yaa Muhammad…”, mengkafirkan orang yang berziarah ke makam para Nabi untuk bertabarruk (mencari berkah), mengkafirkan orang yang mengalungkan hirz (tulisan ayat-ayat al Qur’an atau dzikir yang warid dari Rasul ), padahal apa yang di dalam hirz tersebut hanyalah ayat-ayat al Qur’an dan sama sekali tidak terdapat lafadz-lafadz yang tidak jelas yang diharamkan. Mereka menyamakan perbuatan memakai hirz ini dengan penyembahan terhadap berhala.
Mereka (golongan Wahabi) dalam hal ini telah menyalahi para sahabat dan salafus salih. Telah menjadi kesepakatan bahwa diperbolehkan mengucapkan “Yaa Muhammad…” ketika dalam kesusahan. Semua umat Islam bersepakat tentang kebolehan ini dan melakukannya dalam praktek keseharian mereka, mulai dari sahabat nabi, para tabiin dan semua generasi Islam hingga kini. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal, Imam madzhab Hanbali yang mereka klaim di negeri mereka sebagai madzhab yang mereka ikuti, telah menyatakan kebolehan menyentuh dan meletakkan tangan di atas makam Nabi Muhammad, menyentuh mimbarnya dan mencium makam dan mimbar tersebut apabila diniatkan untuk bertabarruk (mendekatkan diri) kepada Allah dengan bertabarruk.
Mereka telah menyimpang dari jalur umat Islam dengan mengkafirkan orang yang beristighatsah kepada Rasulullah dan bertawassul dengannya setelah wafatnya. Mereka berkeyakinan bahwa orang yang bertawassul selain yang hidup dan yang hadir (ada dihadapan kita) adalah kufur. Atas dasar kaidah ini, mereka mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah tawassul ini dan menghalalkan untuk membunuhnya. Sebagaimana perkataan Muhammad ibn Abdul Wahhab: “Barang siapa yang masuk dalam dakwah kita maka ia mendapatkan hak sebagaimana hak-hak kita dan memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban-kewajiban kita dan barang siapa yang tidak masuk (dalam dakwah kita) maka ia kafir dan halal darahnya”. Dan ia juga mengatakan: “Dan ketahuilah bahwa pengakuan mereka (umat Islam) dengan tauhid ar Rububiyah belum memasukkan mereka ke dalam Islam, dan penyebutan mereka terhadap para malaikat, para nabi, para wali untuk mendapatkan syafaat mereka dan untuk mendekatkan diri kepada Allah, hal itulah yang menghalalkan darah dan harta mereka”. Ajaran inilah yang diyakini oleh golongan Wahabi sekarang ini, bahwa menurut mereka orang yang bertawassul adalah musyrik. Sebagaimana perkataan Muhammad Ahmad Basyamil: “Sungguh aneh dan mengherankan Abu Lahab dab Abu Jahal lebih bertauhid dan lebih murni imannya dari umat Islam yang bertawassul dengan para wali dan orang-orang shalih dan mengharapkan syafaat dari Allah ta’ala”.
Kalau kita mengamati beberapa pernyataan Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pengikutnya, kita dapat menyimpulkan bahwa pernyataan tersebut dapat memicu gerakan separatisme dan pemikiran ekstrim yang menjurus pada gerakan terorisme. Karena mereka mengklaim bahwa mereka yang paling benar dan selain mereka sesat dan halal darahnya.
Beberapa Ketimpangan Ajaran Wahabi
Berikut ini beberapa ketimpangan pemikiran mereka yang penulis sajikan dalam tulisan singkat di bawah ini:
1. Mereka (golongan Wahabi) mengharamkan peringatan maulid Nabi Muhammad dan menganggapnya sebagai salah satu bid’ah yang tercela, bahkan salah seorang dai mereka yang bernama Abu Bakr al Jazairiy mengatakan: “Sesungguhnya sesembelihan yang disembelih untuk diberikan kepada orang-orang yang datang pada acara maulid lebih haram dari pada babi”. Bahkan Sholeh ibn Fauzan mengatakan dalam kitabnya yang berjudul at Tauhid: “Orang-orang jahil dari kalangan umat Islam dan ulama-ulama mereka yang sesat merayakan peringatan maulid”. Ibn Baz juga mengatakan: “Perayaan maulid Nabi sama halnya dengan perbuatan orang-orang Yahudi.” Padahal menurut Ibn Taimiyah dalam sebagian fatwanya mengatakan apabila peringatan tersebut dilakukan dengan niat yang baik maka akan mendapatkan pahala. Sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Iqtidha al Shirath al Mustaqim: “Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebagian orang seperti kegembiraan orang-orang Nasrani pada hari kelahiran Isa atau kecintaan dan memuliakan Nabi Muhammad, maka Allah memberikan pahala atas kecintaan dan ijtihad ini bukan atas bid’ahnya”. Dalam halaman lain ia mengatakan: “Maka pemuliaan maulid dan menjadikannya sebagai tradisi musiman telah dilakukan oleh sebagian orang. Mereka akan mendapatkan pahala besar karena niat baiknya dan pemuliaan mereka terhadap Rasulullah sebagaimana yang telah saya sebutkan”.
2. Mereka mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan wali, bahkan mereka mengatakan tawassul termasuk salah satu perbuatan syirik. Abu Bakr al Jazairi mengatakan: “Tawassul dengan kemuliaan para wali dan sholihin dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan berhak dengan siksaan neraka”. Padahal Ibn Taimiyah dalam kitabnya al Kalim al Thayyib menyebutkan hadits tawassulnya Abdullah ibn Umar. Ia menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh al Haytsam ibn Khasyan berkata: “Kami bersama Abdullah ibn Umar ketika itu kakinya terkena semacam keseleo, ada seseorang yang berkata kepadanya: sebutlah orang yang paling kamu cintai, kemudian Ibn Umar menyebutkan “ Ya Muhammad”, maka seketika itu ia sembuh (bagaikan unta yang dilepas tali ikatannya).” Kata “Ya Muhammad” adalah tawassul terhadap Rasul yang ketika peristiwa tersebut terjadi Rasul telah meninggal. Ibn Taimiyah menyebutkan bahwa perkataan tersebut (tawassul) termasuk kata-kata yang baik sehingga disebutkan dalam kitabnya al Kalim al Thayyib sedangkan golongan Wahabi menjadikannya termasuk salah satu perbuatan syirik.
3. Golongan Wahabi sangat mencela tasawwuf dan para sufi tanpa membedakan antara sufi sejati dan mereka yang hanya mengaku-ngaku sufi. Mereka mengatakan tentang kaum sufi: “Perangilah mereka (golongan sufi) sebelum kalian memerangi golongan Yahudi, karena sesungguhnya sufi itu adalah ruh Yahudi.” Dalam hal ini mereka telah menyalahi Ibn Taimiyah yang pernah mengatakan tentang al Junaid al Baghdadi penghulu kaum sufi pada masanya bahwa beliau adalah Imam Kebenaran, sebagaimana ia sebutkan dalam kitabnya Syarh Hadits al Nuzul.
4. Golongan Wahabi melarang umat Islam membaca al Qur’an untuk sesama muslim yang telah meninggal dunia. Mereka juga mengatakan bahwa bacaan al Qur’an tersebut tidak akan bermanfaat bagi si mayit dan orang yang melakukannya akan disiksa di akhirat kelak. Padahal Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa juz 24 membolehkannya dan juga Muhammad ibn Abd al Wahhab. Dalam kitabnya yang berjudul Ahkam Tamanni al Maut Ibn Abd al Wahhab menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Sa’d al Zanjani dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah mengatakan (yang artinya): “Barang siapa yang memasuki pemakaman kemudian ia membaca surat al Fatihah, al Ikhlas dan al Takatsur, kemudian ia mengatakan: saya jadikan pahala apa yang telah aku baca untuk penghuni makam dari orang-orang mukmin dan mukminat, maka mereka (orang-orang yang telah meninggal tersebut) akan memintakan syafaat kepada Allah bagi orang tersebut”.
5. Golongan Wahabi mengatakan bahwa mereka yang telah meninggal dunia tidak lagi dapat mendengar, sehingga mereka mengatakan bahwa mentalqin mayyit setelah dimakamkan merupakan bid’ah yang sesat. Padahal Muhammad ibn Abd al Wahhab dalam kitab Ahkam Tamanni al Maut hadits yang diriwayatkan al Thabarani dalam Mu’jam al Kabir dan Ibn Manduh yang berisi tentang kebolehan mentalqin mayit. Hadits tersebut diriwayatkan oleh sahabat Abi Umamah dari Rasulullah bahwasanya beliau bersabda yang artinya: “Apabila salah seorang dari kalian meninggal dunia kemudian setelah kalian makamkan maka hendaklah salah seorang di antara kalian berdiri di bagian kepala si mayit dengan mengatakan: Wahai fulan ibn fulanah, sesungguhnya mayit tersebut mendengar tapi tidak menjawab, kemudian orang tadi berkata: Wahai fulan ibn fulanah, sesungguhnya mayit tersebut bangun untuk duduk, kemudian orang tadi berkata: Wahai fulan ibn fulanah, maka sesungguhnya mayit tersebut mengatakan: Bimbinglah saya semoga Allah merahmatimu akan tetapi kalian tidak merasakan”.
Perkembangan Wahabisasi di Indonesia
Indonesia merupakan lahan yang subur untuk menyebarkan paham apapun. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat Indonesia awam dari permasalahan aliran dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mereka hanya melihat perform luar seseorang tanpa memandang ajaran yang dibawanya. Sebut saja hizbut Tahrir yang semakin menjamur di kalangan generasi muda kita, padahal di negara asalnya golongan ini dilarang keberadaanya. Gerakan Wahabi juga semakin merajalela. Dengan dukungan Negara petrodollar Saudi Arabia, gerakan ini mempunyai basis yang kuat di beberapa instansi formal ataupun non formal di Indonesia. Sebut saja LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) termasuk salah satu basis pendidikan formal Wahabisasi. Pemberian bea siswa bagi siswa yang berprestasi untuk melanjutkan studi di Negara asal gerakan ini. Gerakan salafisme yang pada tahun 2000an pesat perkembangannya. Instantsi-instansi non formal seperti el Data, as Sofwah, al Huda, as Sunnah, Ruqya Center, dan lain-lain. Mereka juga membentuk gerakan anti kemunkaran melalui laskar jihad (belakangan gerakan ini tidak muncul lagi dikarenakan konflik intern).
Mereka juga merambah media tulis melalui terjemahan buku-buku karya ulama-ulama Wahabi, majalah, seperti majalah al Furqan, as Sunnah, Salafi, Ghoib, dan lain-lain. Hal sangat memperihatinkan kita bahwa hampir di setiap toko buku, kitab-kitab mereka banyak memenuhi rak buku yang ada. Hingga dunia maya dan media elektronika radio dan televisi. Masih teringat di benak kita tanyangan sinetron Astaghfirullah yang lebih banyak mengedepankan sisi kewahabiannya dari pada pesan yang ada pada sinetronnya sendiri. Sebut saja radio dakta yang menjadi corong gerakan di Bekasi dan sekitarnya. Dan masih banyak lagi jaringan-jaringan Wahabisasi di Indonesia.
Penutup
Tulisan ini hanyalah sejarah ringkas dan sebagian kecil dari ajaran golongan Wahabi serta ketimpangan mereka. Penulis berusaha obyektif dalam memberikan informasi, dengan menukil dari literature yang ditulis oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri dan para pengikutnya. Juga yang tak kalah outentiknya adalah sejarah yang ditulis oleh 2 orang mufti Makkah Syekh Ahmad Zaini Dahlan dan Syekh Muhammad ibn Humaid an Najdi. Meskipun ringkas, penulis berharap tulisan ini dapat memberikan pencerahan dan gambaran siapakah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan golongan Wahabi yang ia rintis.
Apa yang saya kemukakan di atas bukanlah usaha untuk memecah belah umat. Justru hal tersebut adalah ajakan untuk mempersatukan umat dalam aqidah yang benar dan mewaspadai golongan-golongan yang berusaha menjauhkan umat dari aqidah yang benar. Akankah terjalin persatuan dengan orang yang mengkafirkan kita dan menuduh apa kita lakukan adalah syirik dan menyesatkan?!!
0 komentar:
Posting Komentar